Ghaflah, Kelalaian


"Apakah kalian heran, jika kalian melihat seseorang menangis di surga?" tanya Muhammad bin Wasi' suatu ketika kepada orang-orang yang berada disekitarnya. Mereka menjawab, "Tentu saja kami merasa heran!".

Kemudian Muhammad bin Wasi' mengatakan, "Seharusnya kita lebih heran lagi bila melihat seseorang yang masih hidup di dunia, tertawa terbahak-bahak, sementara ia belum tahu bagaimana akhir perjalanannya di akhirat kelak."


Duhai saudaraku, ini bukan semata-mata soal tertawa terbahak-bahak. Muhammad bin Wasi' sedang menyindir kita tentang jerat-jerat syaitan. Tentang ghaflah, lalai.


Sungguh, begitu sering kita terjerat oleh jebakan syaitan ini, lalai. Tanpa terasa dan tanpa kita sadari. Kelalaian itu telah menyeret kita hingga begitu jauh meninggalkan Allah 'Azza wa Jalla. Ya, tanpa terasa.


Bisa jadi lalai bermula dari sebuah kesibukan, kemudian menunda pelaksanaan, dan hingga tak terasa ktapun meninggalkan. Sibuk bekerja misalnya, shalat wajib jadi tertunda. Lama-kelamaan diakhirkan waktunya. Dan sampai titik terakhir tak terasa kita begitu tanpa beban meninggalkannya.


Saudaraku, ini tentang ghaflah, lalai. Lalai yang menyeret kita dengan pelan-pelan untuk menjauhi takwa. Mari bertaya pada diri, apa yang menghalangi kita untuk istiqamah membaca Al-Qur'an tiap hari meski hanya beberapa ayat saja? Apa yang membuat kita tak lagi menghidupkan malam dengan qiyamul lail? Apa yang menjadikan kita tidak begitu merindukan surga? Bagaimana pula ini semua bisa terjadi?


Ghaflah, kelalaian. Inilah penyakit yang menjangkiti hati agar hati menjadi rela dengan kondisi yang rendah, tenang dengan kemaksiatan, dan begitu mengikat mata dengan dunia. Dan, tak ada lagi tempat untuk akhirat. Renungkanlah firman Allah, "...Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapatkan petunjuk." (QS. An-Naml:24)
0 Responses